Ide Bisnis dari Bahan Sisa, Tak Sengaja Tapi Menggoda

Mau dibuang, ternyata bisa menghasilkan uang

Sidoarjo, IDN Times - Sebuah bisnis tak melulu datang dari rencana matang. Terkadang, ide usaha justru muncul dari ketidaksengajaan. Hal itu pula yang terjadi pada Yudit Sari dan Eti Sulistianing. Kedua perempuan binaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini menemukan celah bisnis justru dari bahan sisa produksi alias limbah. 

Yudit merupakan pengusaha kerupuk kulit ikan dori. Ia memanfaatkan kulit sisa industri pengemasan daging dori. Mulanya, Yudit bingung saat mendapat tawaran dari seorang teman. Sang teman memintanya menjual kulit ikan dori.  “Katanya ada sekitar 400 kilogram kulit dori dari pabrik, tak terpakai,” ujar Yudit, kepada IDN Times, Selasa (23/5/2023).

Saat ia coba memasarkan secara mentah, tak satupun pembeli melirik. Akhirnya Yudit mencari cara agar kulit tersebut bisa bernilai ekonomi. Setelah bertanya kanan kiri dan melihat berbagai tutorial di YouTube, Yudit akhirnya memutuskan membuat kerupuk berbahan kulit ikan dori.

Di luar prediksi, hampir semua konsumen pertamanya memberikan respons positif. Tak pikir panjang, ia langsung mencari tahu informasi tentang pameran pameran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dengan percaya diri, ia pamerkan produk kulit ikan dori miliknya di berbagai pameran. Dari sanalah produknya perlahan mulai banyak dikenal.

Akhir tahun 2019 adalah titik penting dari perjalanan usahanya. Seorang pelanggan memesan kerupuk kulit dori sebanyak 5 kilogram. “Dari saat itulah saya akhirnya lebih serius,” ujarnya. Keseriusan Yudit ditunjukkan dengan mengurus berbagai perizinan usaha hingga sertifikasi halal. Tujuannya, agar produk miliknya bisa menembus berbagai pusat oleh-oleh. 

Usahanya tak sia-sia. Dari kegigihannya melihat peluang, produknya kini sudah mejeng di berbagai outlet-outlet modern dan pusat oleh-oleh. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, kerupuk dori buatannya juga dikirim ke luar negeri. 

Meski sedang berada di atas angin, Yudit tak mau jemawa. Ia mengaku terus belajar, bahkan dari para rival. Salah satu hal positif yang ia pelajari dari pesaingnya adalah soal pemasaran digital. Menurut dia, banyak produsen serupa yang muncul dengan kemasan dan pemasaran lebih kreatif. Mau tak mau, ia juga harus melek teknologi.

“Dari pelatihan BRI pula saya mendapatkan banyak masukan tentang digitalisasi. Setelah ini saya rencananya mau menyewa vendor untuk bikin konten dan foto produk. Maklum, para rival sekarang juga canggih-canggih.”

Serupa tapi tak sama. Eti Sulistianing juga punya cerita sukses dari pemanfaatan limbah sisa produksi. Ia mengolah kembali kain perca sisa produksi mukena miliknya. “Saya merasa terlalu banyak membuang sisa potongan kain,” ujarnya. Perca-perca itu ia kreasikan menjadi sarung bantal, hiasan dinding, hingga taplak meja.

Siapa sangka, produk itu banyak digemari. Tak main-main, meski berbahan limbah, Eti mampu menyasar kelas menangah ke atas dengan harga premium. Untuk satu set sarung bantal misalnya, ia membanderolnya Rp400 ribu.

Bukan tanpa alasan ia menjual karyanya dengan harga premium. Eti mengatakan bahwa desain yang ia jual tak sembarangan. “Satu produk hanya saya gunakan untuk satu desain, mirip butik gitu lah,” ujarnya. Selain itu, Eti juga menerapkan beberapa teknik menjahit khusus yang tak digunakan perajin lain. 

Sembari manata usaha barunya, Eti mendaftar menjadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) binaan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Tujuannya untuk memperlebar jejaring bisnis.  Selain teman sesama UMKM, Eti juga mengaku mendapat akses permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). “Yang paling penting dapat pendampingan dan pelatihan,” ujarnya. 

Eti pun kini makin percaya diri. Ia bahkan berencana menambah jenis produknya, yaitu hiasan dinding dari benang sisa mukena. “Saya berharap nanti bisa bikin galeri sendiri.”

Baca Juga: Lika-liku Perajin Ecoprint, Berkarya Sambil Mengedukasi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya