TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Novel Berlatar Sejarah, Cerita Aktivis 98 dan Eksil

Novel berlatar sejarah 1965-1998

Ilustrasi membaca novel. (freepik.com/seribustd)

Buat kamu yang pengin tahu sejarah bangsa Indonesia tapi enggan membaca buku yang kaku, artikel ini jadi jawabannya! Novel yang mengangkat peristiwa sejarah pasti menjadi bacaan yang menarik. Selain gaya penulisannya yang khas, novel fiksi sejarah juga sering ditambahkan bumbu-bumbu romansa. Jadi, kamu dijamin gak cepat bosan, deh!

Cerita novel yang hidup bahkan bisa membawa kita menyusuri lorong waktu, seolah-olah kita terjun langsung dalam peristiwa yang lagi diceritakan. Nah, kira-kira novel apa saja sih yang menceritakan hal-hal seperti itu? Berikut 6 rekomendasi novel berlatar sejarah Indonesia yang menceritakan perjuangan aktivis 1998 dan para eksil akibat peristiwa 30 Septermber 1965. Yuk, simak!

1. Amba karya Laksmi Pamuntjak

Novel berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak sukses menjadi novel berlatar sejarah yang laris di pasaran. Dengan latar sejarah berbumbu kisah cinta unik, novel Amba sukses meraih penghargaan sastra, bahkan di tingkat internasional. Novel yang masuk ke dalam kategori novel 21+ ini berhasil memenangkan LiBeraturpreis pada 2016, yaitu penghargaan sastra Jerman yang ditujukan khusus untuk penulis perempuan.       

Novel dengan sampul dominan warna merah itu memiliki ketebalan 577 halaman. Novel ini mendedahkan cerita kehidupan perempuan asal Kardipura bernama Amba. Pada usia 18 tahun, ia sama sekali tak pernah memikirkan pernikahan. Yang ia inginkan cuma melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Tapi, kedua orang tuanya tampak tak setuju. Mereka khawatir dengan Amba yang tak kunjung menikah. Bahkan, ayah Amba berniat menjodohkannya dengan dosen muda Universitas Gadjah Mada bernama Salwani Munir (Salwa).   

Sayangnya, perjumpaan-perjumpaan dengan Salwa tidak membuat Amba jatuh cinta lebih dalam. Amba malah melabuhkan hati ke pria lain, Bisma, yang merupakan seorang dokter lulusan Jerman Timur. Hubungan Amba dan Bisma boleh dibilang kelewat batas. Mereka merajut kasih sampai Amba mengandung calon anak mereka di luar hubungan pernikahan.  

Suatu hari di tahun 1965, Bisma ditangkap pemerintah Orde Baru di Yogyakarta saat ia menghadiri undangan Untarto, temannya. Ia dianggap mempunyai keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selang enam tahun, pria itu akhirnya diasingkan ke Pulau Buru. Amba sama sekali tidak mengetahui berita ini. Pada tahun 2006, Amba nekat pergi ke Pulau Buru, tempat pembuangan para tahanan politik. Akhirnya, di sana ia mendapat jawaban pasti tentang nasib Bisma yang bertahun-tahun tidak pulang.            

Gak cuma dari sisi latarnya, nama tokoh dalam cerita ini juga tergolong menarik, sebab diambil dari epos Mahabharata yang fenomenal. Ada banyak insight yang bisa kamu petik di sini, salah satunya tentang stereotip tahanan politik, yang bisa kamu ketahui lewat surat-surat Bisma. Novel ini worth it buat dibaca, karena penulisnya digadang-gadang sampai berkunjung ke lokasinya langsung untuk melakukan wawancara sebagai bahan menulis. Jadi, pengalaman memahami sejarah lewat novel ini pasti lebih komprehensif, deh.          

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Filsafat Feminisme untuk Mahasiswa

2. Saman karya Ayu Utami

Novel Saman yang terbit pada 1998 ialah novel romansa dewasa karangan Ayu Utami. Gak cuma dinikmati pembaca asli Indonesia, karya sastra ini bahkan dinikmati oleh pembaca Belanda dan Inggris. Ini dibuktikan dengan penerjemahan novel ke dalam bahasa Belanda pada tahun 2001 dan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2005. Karena kedahsyatannya, pujian tentang Novel Saman datang dari sastrawan kondang tanah air, seperti Sapardi Djoko Damono dan Pramoedya Ananta Toer.  

Novel setebal 216 halaman ini menceritakan kehidupan empat wanita bernama Yasmin, Laila, Cok, dan Shakuntala. Kehidupan mereka begitu kompleks. Ada yang terjebak dalam hubungan terlarang, perselingkuhan, dan masih banyak lagi. Dalam novel ini, ada juga tokoh laki-laki bernama Wisanggeni yang kemudian mengubah identitasnya menjadi Saman karena ia adalah buronan. Suatu kesempatan menggiring Saman untuk berjumpa lagi dengan Yasmin, Laila, Cok, dan Shakuntala.

Wisanggeni atau yang akrab disapa Wis merupakan seorang pastor yang bertugas di Desa Prabumulih. Di sana, Wis membantu perekonomian warga sekitar dengan bantuan modal dari ayahnya atas perizinan dari kepala pastor. Ia mengajari warga untuk menanam pohon karet. Fasilitas pendukung seperti pembangkit listrik juga dihadirkan Wis, sehingga kondisi desa perlahan-lahan membaik. 

Sayangnya, belum lama warga mencecap bahagia, muncul perintah dari pemangku kebijakan pada masa Orde Baru untuk mengalihfungsikan perkebunan karet menjadi perkebunan sawit. Mereka meminta agar perkebunan yang dikelola warga segera diserahkan pada perusahaan swasta. Karena Wis dan para warga terus menolak, teror dan represi tak dapat dihindari lagi. Wis bahkan sampai dipenjara karena kegigihannya dalam membantu warga. Karena merasa situasi tidak aman, Wis bergegas meninggalkan Indonesia dan mengubah identitasnya.                   

Novel yang diterbitkan pada era kekuasaan Soeharto ini menjadi kontroversi. Gak cuma menekankan kelicikan dalam ruang politik, novel ini juga menyoroti seksualitas yang sering dikesampingkan pada masa itu. Novel ini menjadi bacaan wajib buat kamu yang suka cerita-cerita berbau sejarah.    

3. Larung karya Ayu Utami

Larung yang terbit pada November 2021 merupakan lanjutan novel Saman. Novel ini masih membahas seputar pergolakan politik dan kekuasaan rezim militer. Ayu Utami sebagai pengarang mengajak pembacanya untuk terus merefleksikan tema-tema moralitas dan keadilan hukum.

Larung ialah sosok yang membantu Saman dan sahabat-sahabatnya untuk menyelamatkan tiga aktivis buronan rezim bernama Bilung, Koba, dan Wayan Togog akibat peristiwa 27 Juli 1996. Dalam usaha pelarian tiga aktivis itu, mereka dibantu seorang petani karet bernama Anson bin Argani. Pria itu kemudian menjadi penjahat dan bajak laut karena pernah dipenjara akibat kerusuhan di Medan. Anson adalah adik angkat Saman ketika masih menjadi pendeta di Medan.

Sayangnya, Saman dan Larung tertangkap aparat kepolisian dalam upaya melarikan tiga aktivis buronan rezim itu. Salah satu dari mereka, Larung, dituduh sebagai pencuri motor. Tak lama, polisi segera menendang Larung. Larung terus diinterogasi, tetapi ia memilih bungkam. Akhirnya, Larung mati ditembak.

Larung mengambil masa Orde Baru sebagai latar ceritanya. Ayu Utami sukses dalam menggambarkan gejolak politik pada masa itu. Suasana tegang berhasil diciptakannya, bahkan narasinya yang kuat dan penuh emosi bisa sampai menggugah pembaca. Konfliknya juga relate dengan kehidupan sehari-hari. 

4. Maya karya Ayu Utami

Novel Maya karya Ayu Utami diterbitkan pertama kali pada tahun 2014. Novel ini adalah novel ketiga dalam serial Bilangan Fu, setelah Manjali dan Cakrabirawa dan Lalita lahir lebih dulu. Novel ini kembali mengingatkan kita akan nasib Yasmin dan Saman, tokoh novel Saman dan Larung.    

Dua tahun setelah Saman hilang karena ditangkap di perairan Riau, Yasmin menerima tiga surat dari kekasih rahasianya. Bersamaan dengan surat itu, aktivis HAM tersebut juga mengirimkan batu akik. Yasmin yang dikenal rasional terpaksa bergegas menemui Suhubudi, seorang guru spiritual yang merupakan ayah Parang Jati, untuk menjawab kejadian misterius tersebut. Di Padepokan Suhubudi, Yasmin malah terperangkap dalam kasus lain, yaitu perjalanan batin untuk memahami dirinya, cintanya, dan tanah airnya. 

Di padepokan itu pulalah, ia bertemu Maya, makhluk cebol albino yang menarikan Sita dalam sendratari Ramayana. Yasmin merasa terharu dengan Maya yang tersisih oleh ketidakadilan. Ayu sengaja menautkan kisah-kisah novelnya dengan kondisi bangsa pada masa itu.

Perpisahan Yasmin dan Saman terjadi ketika Saman hendak membantu pelarian tiga aktivis mahasiswa yang dianggap kiri karena menyuarakan keadilan bagi rakyat kecil. Ia dituduh komunis karena melawan rezim. Ada kisah lain yang serupa, tentang seorang pesuruh yang dipenggal tangan kanannya atas tuduhan membangkang terhadap program swasembada pangan yang digagas pemerintah. Ada juga kisah lainnya yang tak kalah memilukan.

Novel ini mengambil latar waktu 1998, tepatnya saat masa reformasi pasca Orde Baru. Pada bagian akhir, di novel ini bahkan terdapat selipan kronologi peristiwa-peristiwa penting menjelang lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.   

5. Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Novel Laut Bercerita karya Leila Salikha Chudori terbit pada tahun 2017, cukup jauh dari masa Orde Baru. Meski begitu, ini tak menjadi alasan untuk tidak menguak kembali peristiwa bersejarah tersebut. Novel ini mengangkat tema sejarah, persahabatan, percintaan, keluarga, dan masih banyak lagi.

Dalam rentang tahun 1990-an hingga 2000-an seperti latar cerita, banyak peristiwa yang terjadi, salah satunya peristiwa penyiksaan kaum eksil yang membela kepentingan rakyat. Meski dibumbui fiksi, segala penceritaan di novel ini cukup akurat, sebab pengarangnya melakukan wawancara langsung dengan para penyintas.

Laut Bercerita mengisahkan kebengisan para pemerintah Orde Baru terhadap kelompok aktivis mahasiswa, terutama kepada 13 mahasiswa yang sempat diculik. Dalam buku ini, kamu akan mendapati dua sudut pandang, yaitu melalui point of view Biru Laut dan point of view Asmara Jati, adiknya.

Lewat novel ini, kita tahu bahwa kesetiaan para aktivis terhadap rakyat kecil malah membuat mereka dipukul, diinjak, bahkan disetrum. Laut bahkan kembali diringkus pada 13 Maret 1998. Tak cuma itu, dia culik dan disekap, bahkan diperlakukan tidak manusiawi. Laut dinyatakan hilang, hingga akhirnya keluarganya mendapat informasi tentang ditemukannya tulang belulang manusia di Kepulauan Seribu.     

Melalui kumpulan hurufnya, Laut Bercerita menyajikan sederet peristiwa-peristiwa tragis secara nyata. Visualisasi karakter dan suasananya sungguh tampak hidup, terutama deskripsi tentang penyiksaan bertubi-tubi yang dialami aktivis. Leila S. Chudori berhasil memadukan sejarah dan fiksi dengan sempurna, terutama mengenai empat mahasiswa yang dinyatakan hilang sampai hari ini. Selain menghibur, novel ini juga bermanfaat untuk menambah insight seputar sejarah rezim Orde Baru dan sejarah pergerakan di Indonesia.                      

Verified Writer

Talita Hariyanto

Manusia hina sebagai makhluk mulia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya