TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jejak Sejarah Perbudakan di Surabaya pada Tahun 1930-1960

Masyarakat makin sengsara sejak kedatangan Jepang

Kehidupan di Surabaya circa 1920. (Dokumen Tropenmuseum via Instagram @surabayatempodulu)

Pertumbuhan kota gak cuma soal bangunan fisiknya, tapi juga tentang keadaan dan kondisi orang-orang di dalamnya. Unsur manusia atau masyarakat ini sebenarnya gak bisa dikesampingkan, karena mereka punya peran penting dalam mendorong kemajuan maupun kemunduran kota. 

Nah, pada tahun 1930 hingga 1960, ada banyak perubahan di bidang ekonomi maupun politik yang membuat kondisi masyarakat Surabaya berubah drastis. Bahkan, beberapa orang sampai memilih pulang ke kampung halamannya, karena mereka menganggap ongkos kehidupan di desa jauh lebih murah dari pada di kota. Penasaran gak, gimana keadaan masyarakat Surabaya pada masa itu? Yuk, simak artikel berikut biar lebih jelas!  

1. Surabaya tidak selamanya berjaya

Jalan Tunjungan Surabaya circa 1950. (instagram.com/surabayatempodulu)

Sejak dulu, Surabaya dikatakan menjadi salah satu kota yang istimewa, sebab Kota Pahlawan ini pernah menjadi kota pelabuhan modern, perdagangan, bahkan industri sepanjang abad ke-19. Sayangnya, kondisi ini tidak bertahan lama.

Ada gejolak ekonomi yang melanda seluruh kota di Jawa, termasuk Surabaya. Jatuhnya nilai gula di pasar dunia dan ketatnya kebijakan terhadap uang Belanda perlahan merenggut kejayaan Surabaya.

Ini tentu berdampak bagi masyarakat kota, sebab mereka harus menghadapi pemotongan gaji. Bagi mereka yang bertahan di sektor formal ekonomi, mereka bisa saja menurunkan biaya hidup sebagai akibat dari pemotongan upah. Tapi, bagaimana dengan mereka yang hanya bekerja di sektor informal? Mereka mau tak mau menerjunkan anak-anak mereka yang masih belum cukup umur dalam sektor informal, seperti yang dialami para perempuan di Surabaya.

Dirangkum dari buku karya Freek Colombijn berjudul Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan (2015) , artikel ini bisa membawa kamu ke masa lampau saat kejayaan Kota Surabaya terampas. Simak yuk.

Baca Juga: 7 Upacara Adat di Madura, Ada Mengukur Keperawanan Pengantin

2. Kemelut masyarakat Surabaya

Pengungsi Tiongkok di Surabaya pada November 1945. (Dutch Channel via Instagram @surabayatempodulu)

Gak cuma membuat industri terpuruk, merosotnya kesejahteraan Indonesia juga membuat sebagian perempuan dan anak-anak menderita. Mereka terpaksa harus bekerja di usia belia, entah itu bekerja di kalangan keluarga sendiri maupun bekerja untuk orang lain. Mereka bahkan harus meninggalkan bangku sekolah karena tidak mempunyai biaya.

Jika dibandingkan, kondisi ini lebih sering dialami oleh perempuan Jawa dan Tionghoa dari pada perempuan Arab di Indonesia. Pada masa itu, sebagian perempuan etnis Arab masih bisa bersekolah di Yayasan Al-Irsyad sampai tahun 1940-an, sebelum Jepang datang dan mengeluarkan perintah untuk menutup sekolah-sekolah.

Bisa disimpulkan, Surabaya di tahun 1930-an masih lebih makmur dibandingkan dengan masa pemerintahan Jepang. Ini dibuktikan dengan masih stabilnya harga barang pokok di bawah pendudukan Belanda.    

3. Jepang mulai mengeksploitasi masyarakat Surabaya

Gedung White Away (Siola) Surabaya. (Dokumentasi Postcard 1930s via Instagram @surabayatempodulu)

Jepang yang digadang-gadang sebagai 'saudara tua' ternyata tidak benar-benar membantu memerdekakan Indonesia. Mereka hanya menebarkan janji-janji manis untuk mendapat simpati dari rakyat Indonesia. Kehadiran Jepang nyatanya semakin memporak-porandakan bangsa ini, tak terkecuali Kota Surabaya.

Pada zaman itu, anak-anak dimanfaatkan Jepang untuk membantu menanam, memelihara, serta memanen tanaman jarak. Di sisi lain, para wanita juga dimanfaatkan Jepang untuk menanam padi dan memintal benang. Bahkan, kaum perempuan dari etnis Tionghoa disuruh menjahit manual semua bahan celana dari karet untuk dibagi-bagikan kepada perwira Jepang. Sementara itu, kaum laki-laki juga dimanfaatkan tenaganya sebagai romusha sukarela untuk membongkar muatan dan barang, bahkan mencangkul tanah.

Pada masa ini, pedagang perlahan-lahan mulai mengganti barang dagangannya. Semula mereka berjualan bahan pakaian dan bahan pangan, kini mereka beralih untuk menjual kertas, payung, dan sandal kulit atau kelompen. Intinya, mereka tidak lagi berani menjual bahan pangan. Selain takut dirampas oleh pihak Jepang, mereka juga takut dikenai hukuman seperti potong tangan maupun dibawa ke markas Kenpetai.   

4. Masyarakat Surabaya semakin terseok

Kedatangan 'Uiver' di Bandara Darmo Surabaya pada tahun 1934. (Tropenmuseum via Instagram @surabayatempodulu)

Agar tetap bisa hidup, masyarakat Kota Surabaya tak jarang hanya bergantung terhadap suplai beras, minyak, atau lauk dari kepala desa. Kadang mereka juga mendapatkan kacang hijau atau gaplek. 

Anak-anak dan perempuan juga dilibatkan selama pendistribusian makanan ini. Jika jatah makanan telah habis, mereka terpaksa memakan bubur yang terbuat dari ampas atau sisa kedelai dan kecap, yakni sejenis asinan lobak. Meski begitu, pasokan ini ternyata tidak cukup untuk membuat warga Surabaya bertahan lebih lama. Sebagian dari mereka sampai-sampai terpaksa memakan bangkai binatang, sedangkan sebagian lainnya perlahan-lahan mati karena kelaparan. 

Masa sulit pada masa Jepang dimanfaatkan oleh sebagian penduduk kota untuk bekerja. Apa saja mereka lakukan, seperti menjadi pelayan di restoran, buruh di pabrik gelas, dan buruh rokok linting. Bagi yang beruntung, mereka bisa bekerja di kantor pemerintah milik Jepang. Meski begitu, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu berpenampilan menarik dan berusia di bawah 18 tahun. Upah yang mereka terima kisaran Rp20 hingga Rp30. Jumlah ini termasuk cukup besar jika dibandingkan dengan upah seorang kuli atau tukang becak yang hanya 24 sen.      

5. Perjuangan belum berakhir

Potret pembuatan film di Hindia Belanda. (Dokumentasi Willy Mullens via Instagram @surabayatempodulu)

Berakhirnya pendudukan Jepang di tanah air bukan berarti menjadi kemudahan bagi penduduk di Surabaya. Jepang mewariskan kesulitan-kesulitan baru, misalnya banyaknya gedung yang rusak. Di sisi lain, masyarakat tetap banyak yang mengalami penderitaan bahkan mati. Itu terjadi bukan karena peperangan, tapi karena banyaknya penyakit seperti malaria cacing yang menjadi endemi di Surabaya. 

Masa damai pun, mulai Januari 1950, tetap tidak membuat warga Surabaya merasa aman. Masalah muncul silih berganti seiring meningkatnya jumlah penduduk di kota ini. Penanganan masalah permukiman, peningkatan standar hidup penduduk, dan pemberantasan buta huruf menjadi prioritas utama dalam masa awal setelah revolusi. 

Sampai dengan masa pascakemerdekaan pada tahun 1950, masalah harapan sehat penduduk Indonesia pada umumnya masih sangat rendah. Ini dilihat dari tingkat kematian kasar penduduk antara tahun 1950-1955 sebesar 28,3 per 1.000 penduduk. Indikator ini juga terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi sebesar 175 pada tahun 1950. Selain bahan pangan dan obat-obatan, kesehatan pada zaman ini menjadi hal langka.     

6. Pemerintah mulai menginisiasi pembenahan

Keramaian di Handelstraat (sekarang Jalan Kembang Jepun) Surabaya. (Dokumen Tropenmuseum via Instagram @surabayatempodulu)

Rendahnya standar hidup para pekerja sekaligus pendatang di Surabaya juga terlihat dari buruknya tempat hunian serta kondisi lingkungan yang ditempati. Sebenarnya, pemerintah DPRD Kotapraja sudah berniat untuk memperbaiki sarana dan prasarana kota. Sayangnya, pihak pemerintah sampai dengan tahun 1950 masih terbentur dengan Stadsvorming yang merupakan Undang-undang Pembentukan Kota. 

Singkatnya, itulah perjuangan masyarakat Surabaya selama 15 tahun menjelang kemerdekaan dan 15 tahun pascakemerdekaan. Dengan semangat dan kegigihan arek-arek Suroboyo, segala jenis perbudakan akhirnya dapat disingkirkan.   

Baca Juga: 7 Kerajaan Kuno di Nusantara, Sebagian Mendiami Pulau Jawa

Verified Writer

Talita Hariyanto

Manusia hina sebagai makhluk mulia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya