Ronde Titoni, Kuliner Sejak 1948 yang Digemari Hingga Luar Negeri

Wajib coba nih!

Malang, IDN Times - Nampak seperti bangunan toko biasa, kedai Ronde Titoni 48 yang terletak di Jalan Zainul Arifin nomor 17 tak begitu ramai malam itu, Kamis (2/5). Terang saja, salah satu menu kesukaan pengunjung yaitu Angsle telah ludes pada pukul 21.00 WIB meski waktu tutup kedai masih dua jam kemudian. Beberapa kali pria tua hingga pasangan anak muda mengurungkan niatnya menikmati kehangatan menu Ronde Titoni yang telah ada sejak tahun 1948 tersebut.

 

1. Pelayanan ramah

Ronde Titoni, Kuliner Sejak 1948 yang Digemari Hingga Luar NegeriIDN Times/Fitria Madia

Saat memasuki kedai, Sugeng menyapa pelanggan dengan ramah. "Mau pesan apa? Yang basah, yang kering?" tanyanya sembari membetulkan songkok di kepalanya. Rokok yang dipegang ditaruh di samping meja. Ia menunjukkan menu yang masih tersedia malam itu. "Kalau ini campur, ada patinya seperti jelly," lanjutnya.

Aku menunjuk menu yang dinamakan ronde campur. Penampakannya unik. Ada sebuah ronde besar yang berisikan kacang tanah. Selain itu ada beberapa ronde lain yang berukuran lebih kecil tanpa isian. Ada juga yang berbentuk kubus berwarna merah muda yang kenyal seperti jelly. Sugeng pun meminta seorang anak muda menyediakannya untukku. Ronde ini disajikan dengan kuah wedang jahe dan kacang tanah yang berenang-renang.

Kedai Ronde Titoni 48 milik sugeng memiliki 7 meja panjang berwarna hijau. Masing-masing meja dapat menampung hingga 6 orang. Aku memilih duduk di meja pojok kiri karena meja lain sudah terisi sekelompok laki-laki rapi yang sepertinya sedang membicarakan hal serius.

Baca Juga: Hangatnya Kebersamaan Makin Terasa dengan Resep Ronde Bule Ini

2. Rasa ronde kuno yang dipertahankan hingga kini

Ronde Titoni, Kuliner Sejak 1948 yang Digemari Hingga Luar NegeriIDN Times/Fitria Madia

Ronde memang merupakan makanan tradisional yang dapat ditemukan di mana-mana. Umumnya, kuah ronde terbuat dari air rebusan jahe atau wedang jahe yang rasanya hangat dan pedas. Namun pada kuah Ronde Titoni 48, kuahnya tetap mantap tanpa memberi kesan menusuk dari jahenya.

Ronde yang disediakan juga nampak biasa saja seperti ronde pada umumnya. Namun kekenyalannya dapat dibilang pas. Isian kacang tanahnya pun tak terasa pahit atau terasa seperti ada tanahnya. Kacang tersebut manis dan cocok dipadupadankan dengan kuah wedang jahe.

"Ini ada resep rahasianya. Resep khusus turun temurun dari almarhum ayah saya. Gak ada yang tahu. Sudah puluhan tahun ini resepnya," ujar Sugeng.

3. Harga murah mengundang tamu hingga mancanegara

Ronde Titoni, Kuliner Sejak 1948 yang Digemari Hingga Luar NegeriIDN Times/Fitria Madia

 

Meski tak penuh sesak, semakin malam pelanggan silih berganti berdatangan ke kedai itu. Terang saja, dengan menu legendaris yang disajikan, harga yang dipatok tak begitu mahal. Untuk satu porsi ronde basah, ronde campur, angsle, dan kacang kuah, Sugeng mematok harga masing-masing Rp10 ribu. Menu paling mahal adalah ronde kering yang diberi harga Rp12 ribu.

Menurut Sugeng, sejak kedai dibuka pukul 18.00 hingga 24.00 WIB, setidaknya ada 200 orang yang datang. Mulai dari pasangan muda-mudi dimabuk cinta, orang tua beserta anaknya, hingga turis-turis mancanegara. Ia sudah tak canggung jika para bule memesan makanan ringan di kedainya.

"Kalau orang-orang Asia kayak Korea sama Cina itu sukanya ronde. Suka sekali mereka. Tapi kalau orang Eropa kayak Belanda sama Jerman gitu gak suka sama ronde. Sukanya angsle. Saya punya itu langganan orang Korea," celotehnya. Ia juga memamerkan dua foto yang dipajang di tokonya. Sosok dalam foto itu adalah Tommy yang telah menjadi pelanggan setia sejak 1948 hingga kini.

4. Telah ada sejak 1948

Ronde Titoni, Kuliner Sejak 1948 yang Digemari Hingga Luar NegeriIDN Times/Fitria Madia

Ronde Titoni memang cukup dikenal di Kota Malang. Terang saja, ronde ini telah ada sejak tahun 1948. Setidaknya ronde itu kini telah berusia 71 tahun. Sugeng berkisah bahwa ronde tersebut telah dirintis oleh ayahnya, Abdul Hadi sejak berjualan dengan cara dipikul dan berkeliling di sekitar Pasar Besar.

Setelah itu, pada tahun 1985 Sugeng mulai membantu usaha ayahnya. Kala itu Sugeng yang belum genap berusia 20 tahun mengubah sistem berjualan dengan menggunakan gerobak. Ia kerap mangkal di dekat sebuah toko jam yang bernama Toko Titoni.

"Titoni itu merek arloji, ada nama tokonya. Jadi kalau orang mau beli ronde saya itu pasti manggilnya Ronde Titoni," jelasnya.

Akhirnya pada tahun 1988 Sugeng memboyong dagangannya ke toko yang terletak di Jalan Zainul Arifin tersebut dan bertahan hingga saat ini.

"Ya saya berharapnya dagangan saya dapat bertahan selamanya. Ini nanti juga akan saya teruskan ke anak saya. Termasuk bentuk melestarikan budaya, kan?" pungkasnya.

Baca Juga: Wedang Ronde, Minuman Hangat Khas Jogja yang Dapat Pengaruh dari Cina

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya