Babak Belur Pekerja 'Indie' Dihajar Pandemik

Pendapatan menurun, risiko terpapar COVID-19 pun tinggi

Surabaya, IDN Times - Sambil menyantap bekal makanan dari rumah, Nurul Adhim (33), mengutarakan sambatannya. Pengemudi ojek online itu mengeluh karena hingga pukul 17.00 WIB, uang di tangan belum genap Rp50 ribu. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hari pertama membuat jumlah order tak sebanyak biasanya. Selain berkurangnya mobilitas warga, warung-warung penjual makanan juga memilih tutup ketimbang harus memangkas jam operasionalnya. 

Namun, Nurul mengaku mulai terbiasa dengan cerita seperti ini. Sejak pandemik merebak tahun  lalu, pendapatannya merosot hingga 50 persen. "Saya berangkat dari rumah jam 8 pagi, pulang jam 11 malam. Sebelum ada COVID-19 sih, sehari kotor bisa dapat Rp300 ribu. Sekarang boro-boro, sehari dapat Rp150 saja sudah bagus," katanya saat berbincang dengan IDN Times, Sabtu (3/7/2021). 

Nominal itu tentu saja terlalu kecil baginya. Selain dipangkas biaya operasional seperti bensin, iya juga musti menyisihkan penghasilannya untuk nyicil motor dan biaya sewa kosan. "Kalau sekarang sih, targetnya cuma gimana caranya biar bisa nutup kebutuhan makan sehari," ujarnya. "Ya paling mentok kalau gak bisa buat nutup makan sih, ikut makan saudara," ia menambahkan.

Di sisi lain, pria Sidoarjo ini mengaku tak pernah sekalipun mendapat Bantuan Sosial dari pemerintah. Ia tak paham sebabnya. Nurul hanya menduga pendataan yang kacau jadi alasannya.

Nasib Nurul jauh lebih mujur ketimbang Khoirul (40). Pria yang bekerja di sebuh catering ini mengaku sempat terpuruk di awal-awal pandemik. Lantaran tak ada hajatan, catering tempatnya bekerja tutup. Ia pun menganggur selama lima bulan.

Yang terjadi selanjutnya cukup tragis. Pria dua putra ini bahkan terpaksa menjual beberapa perabot hanya untuk membeli beras. "Lima bulan pertama bingung saya. Sama sekali gak kerja. Ya terpaksa jual kulkas," keluhnya.

Tak mau berpangku tangan, Khoirul pun memutar otak. Ia kini banting setir menjadi kuli bangunan. "Pokoknya sekarang tawaran kerjaan apa saja saya ambil," kata pria asal Surabaya itu.

Nurul dan Khoirul tak sendiri. Mereka hanya gambaran kecil dari apesnya nasib pekerja lepas selama pandemik. Tanpa kontrak dan penghasilan tetap, mereka menjadi kaum yang paling rentan kehilangan pendapatan. Situasi ini tergambar jelas dalam riset yang dilakukan oleh perusahaan modal ventura global, Flourish Ventures berjudul Gig Worker Financial Live Under Pressure. Mereka melakukan survei terhadap 586 gig workers atau masyarakat yang bekerja secara independen di Indonesia untuk mengetahui dampak pandemik terhadap perekonomian para pekerja.

Baca Juga: 6 Tantangan yang Harus Kamu Hadapi sebagai Pekerja Lepas

Hasil riset menyebut bahwa pekerja lepas di Indonesia babak belur dihajar COVID-19. Sebanyak 86 persen reponden mengaku mengalami penurunan pendapatan. Kebanyakan mereka adalah pekerja di bidang jasa layanan kesehatan keluarga dan ridesharing seperti pengemudi ojek online. Bahkan, 58 persen responden mengaku harus berutang. Tanpa berutang, sepertiga dari mereka hanya mampu bertahan hidup kurang dari seminggu.

Utang saja nyatanya tak cukup. Mereka tetap harus memutar otak agar asap dapur tetap mengepul. Kebanyakan dari responden, atau 66 persen memilih memangkas jatah belanja makanan. Ada juga yang memilih mencari pekerjaan tambahan lain seperti berjualan di lapak online. Yang lebih parah tentu saja menggadaikan dan menjual aset.

Di Jatim sendiri, pekerja seperti Nurul dan Khoirul tak bisa dibilang sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pekerja bebas atau yang tak terikat kontrak mencapai 22,5 juta. Mereka kebanyakan berada di daerah-daerah yang bukan merupakan basis industri besar seperti Nganjuk, Lumajang, hingga Situbondo. Sebaliknya, wilayah perkotaan seperti Sidoarjo justru memiliki jumlah persentase pekerja bebas yang sedikit.

  • Jamie Woodwock dalam bukunya, 'The Gig Economy, a Critical Introduction' menyebut bahwa istilah gig workers atau pekerja lepas mulanya muncul dari kalangan musisi. Kata 'gig' yang berarti pertunjukan merujuk pada kesempatan manggung atau tampil. Tak seperti profesi lain, mereka hanya akan kembali dihubungi panitia acara jika performa mereka baik. Istilah ini kemudian terus berkembang dan banyak digunakan untuk mendeskripsikan pekerjaan yang tak terikat kontrak.

  • Sementara BPS mendefinisikan pekerja bebas sebagai seorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang. Pembayaran yang mereka terima bisa harian maupun borongan. 

Ekonom Universitas Airlangga, Imron Mawardi mengatakan bahwa banyaknya jumlah warga yang bekerja secara independen tanpa ikatan kontrak berkaitan erat dengan struktur industri di Indonesia. Minimnya industri skala besar yang mampu menyerap tenaga kerja membuat mereka memilih menjadi pekerja lepas di industri kecil, atau turun ke jalan sebagai pengendara ojek online.  

"Di Jawa Timur, jenis industri kecil mendominasi. Sementara, jumlah industri besar dengan omzet Rp50 miliar per tahun hanya 0,5 persen saja," kata Imron. 

Lantaran tak ada keterikatan, Imron melanjutkan, mereka pun menjadi kaum yang paling rawan terkena goncangan ekonomi. "Saat demand turun karena pandemik, pekerja jenis ini yang akan pertama kali terimbas. Mereka bisa saja kena pengurangan gaji, penundaan gaji, hingga PHK," ujarnya. 

Selain bantuan sosial yang bersifat sementara, pemerintah menurutnya juga perlu mengucurkan insentif bagi dunia industri. Dengan begitu, penyerapan tenaga kerja akan kembali meningkat. Upaya itu pun perlu dibarengi dengan keberhasilan dalam penanganan COVID-19, terutama vaksinasi.

Sebaliknya, jika tak disokong dengan insentif, Imron menyebut para pekerja lepas ini akan dengan mudah menjadi penyumbang utama Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Hal ini sebenarnya sudah terlihat pada tiga bulan pertama pandemik. Angka pengangguran pada Agustus 2020 naik 2,02 persen ketimbang tahun sebelumnya menjadi 5,84 persen. 

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Para pekerja lepas ini juga seolah menjadi 'tumbal data'. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan TPT dengan data pekerja bebas milik BPS Jatim. Daerah dengan jumlah pekerja bebas makin banyak justru memiliki tingkat penganggurannya lebih sedikit.

Nganjuk misalnya, dengan persentase pekerja bebas terbanyak di Jatim, angka pengangguran di sana justru tak masuk 10 besar. Hal sebaliknya terjadi di Sidoarjo yang memiliki persentase pengangguran tertinggi. Jumlah pekerja bebas hanya di 4,33 persen. Tentu ini bukan kabar baik.

Ekonom Unair, Wisnu Wibowo menyebut ini sebagai sebuah ironi. Kondisi ini terjadi karena posisi tawar pekerja lepas yang rendah. Setelah kehilangan mata pencaharian, mereka akan dengan mudah menerima tawaran pekerjaan apapun. "Yang penting bekerja, berapapun gajinya. Dengan begitu, mereka tak akan dihitung sebagai pengangguran. Padahal, gaji mereka juga kebanyakan berada di bawah Rp1 juta per bulan," Wisnu menambahkan.

Situasi ini pun menurutnya tak bisa dibiarkan. Jika terus berlanjut akan ada lingkaran setan. Sebab, lagi-lagi mereka akan dengan mudah kehilangan pekerjaan lantaran tak ada kesepakatan apapun dengan penyedia pekerjaan. Belum lagi soal hak mereka yang kerap dilanggar.

"Hak-hak sebagai pekerja dalam keadaaan normal saja tidak terlindungi. Apalagi saat pandemik seperti ini," kata dia. Ujungnya, segala keapesan ini pun akan membuat mereka kian mudah terjerumus menjadi kelompok masyarakat miskin. 

Melihat perekonomian Indonesia yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan rebound, Wisnu pun memberi saran kepada pemerintah. "Pekerja lepas ini harus didorong menjadi wirausahawan baru. Diberi akses pembiayaan dan pasar, serta tambahan skil. Biar mereka punya kemandirian secara ekonomi," kata dia. 

Dengan segala kerentanannya, Pemprov Jatim mengakui bahwa keberadaan gig workers tetap memiliki peran penting sebagai motor penggerak ekonomi dan pembangunan. Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim, Sunarya, bahwa kian banyak industri yang mulai mengandalkan mereka. 

Alasan on demand (berdasarkan permintaan), bisa menjadi pilihan selain karena kontrak tidak terikat, perusahaan juga bisa mendapatkan tenaga profesional yang diinginkan sesuai kebutuhan perusahaan,” terangnya dalam situs resmi Disnakertrans. Terlebih, banyak dari pekerja lepas ini lebih melek teknologi, sehingga lebih efisien dalam bekerja.

Pemprov sendiri pun mengaku terus memutar otak mencari solusi ketenagakerjaan di tengah pandemik. Kadisnakertrans Jatim, Himawan Estu Bagijo mengakui bahwa COVID-19 membuat kesempatan kerja semakin terbatas dan kian tidak sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja baru. Pemprov pun mencari berbagai solusi, seperti membuka kesempatan kerja yang bersifat sementara. Pemprov, kata dia, juga mendorong masyarakat untuk memulai usaha dengan menggelar berbagai pelatihan kewirausahaan.

”Sebenarnya banyak orang yang berminat untuk berwirausaha dalam suatu bidang tertentu, namun kendalanya adalah kadang belum memiliki keterampilan dan pengalaman usaha,” kata dia. 

Babak Belur Pekerja 'Indie' Dihajar PandemikOjek online sedang melintas di jalan sekitar Kota Tua, Jakarta Barat pada Rabu (5/8/2020) (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Tak hanya di Jatim dan Indonesia, nasib pekerja lepas selama pandemik nyatanya sudah menjadi pembahasan global. Peneliti dari Northumbria University, Marta E. Cecchinato salah satunya. Dalam jurnalnya berjudul The Gig Economy in Times of
COVID-19: Designing for Gig Workers’ Needs ia menyebut pekerja lepas dalam situasi yang sangat rentan selama pandemik karena dua alasan.

Pertama, pekerja jenis ini dianggap oleh perusahaan sebagai 'mandiri' sehingga tidak memiliki akses tunjangan dan asuransi kesehatan. Di sisi lain, pendapatan mereka kian tak menentu karena banyak pekerjaan on demand yang ditangguhkan karena adanya kebijakan pembatasan mobilitas. "Kombinasi kedua faktor ini menempatkan pekerja pada posisi yang sulit. Mereka pun terpaksa menempatkan diri dan keluarga pada posisi rawan tertular," tulisnya.

"Pandemik COVID-19 mempertajam ketidakadilan. Perusahaan hanya merancang bisnis mereka untuk pelanggan namun mengabaikan keselamatan para pekerja," ia menambahkan.

Ia pun menyarankan para penyedia pekerjaan, terutama di sektor digital harus melibatkan pekerja dalam semua pengembangan platform. Dengan begitu, semua kebutuhan semua pekerja bisa diakomodasi.

Baca Juga: Banting Setir, Cerita Para Pekerja Lepas Bertahan Hidup Saat Pandemik

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya